Hai Javarian!
Seperti yang kita ketahui, nasi hampir tidak dapat dipisahkan dari meja makan orang Indonesia. Bahkan ada istilah “belum makan kalau tidak makan nasi”. Karena itu, tidak heran padi jadi salah satu lambang di Pancasila Indonesia.
Dengan kekreatifan orang Indonesia, hampir semua makanan ditambahkan nasi. Mulai dari pizza maupun makanan yang pada umumnya tidak punya unsur nasi di dalamnya.
Makan nasi sudah menjadi budaya khas orang Indonesia. Dimana beberapa outlet makanan dari luar pun menghadirkan nasi di dalam menu mereka untuk beradaptasi dengan gaya makan orang Indonesia, terutama beberapa restoran fastfood yang memiliki banyak cabang di Indonesia.
Tapi tahukah kamu bahwa makanan pokok kita yang satu ini tidak hanya memiliki varian beras putih dan beras merah saja? Di balik nasi yang kita makan sehari-hari, tersimpan cerita tentang 7000+ varian beras yang hampir terlupakan oleh bangsa Indonesia. Yuk kita kembali ke sejarah nasi Indonesia!
Awal Mulanya
Sebelum tahun 1970, Indonesia memiliki banyak varian beras yang berbeda-beda, ada sekitar 7000+ padi dengan keunikannya tersendiri. Padi-warisan ini memiliki lingkungan hidup yang berbeda-beda, mulai dari lingkungan hidup di pantai, rawa-rawa, danau, hutan, hingga sungai mengalir! Kebayang tidak sih? yang biasanya kita bayangkan tumbuh di sawah, bisa tumbuh di alam yang tidak kita duga-duga.
Nah padi warisan ini sendiri dirawat dengan caranya masing-masing namun tetap menggunakan bahan organik dan alami sebagai pupuknya. Dengan lingkungan tumbuhnya yang berbeda-beda, padi inipun menghasilkan beras yang beraneka ragam, mulai dari warna, tekstur, cara memasaknya, hingga rasa. Keren sekali ya! Tapi kekayaan Indonesia yang luar biasa ini terhenti ketika ada program pemerintah yang muncul di kala itu.
Pada masa orde baru, muncul program intensifikasi pertanian untuk swasembada beras. Program ini memiliki kebijakan bahwa petani hanya boleh menanam jenis padi baru yang ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi beras karena jenis baru tersebut dianggap memiliki waktu panen yang lebih cepat dan hasil panen yang lebih banyak dibandingkan dengan padi asli.
Kebijakan ini membatasi kebebasan petani untuk menanam berbagai jenis padi warisan yang merupakan tradisi mereka. Berbeda dengan padi warisan yang bisa digunakan sebagai sumber benih bagi penananan pada musim-musim berikutnya, padi baru ini hanya efektif untuk satu kali penanaman, sehingga petani harus setiap kali membeli benih padi.
Kondisi ini sangat memberatkan petani, apalagi mengingat padi baru hanya bisa tumbuh baik jika ditambahkan pupuk kimia dan dikendalikan hamanya dengan pestisida kimia. Banyak petani yang menerapkan pertanian alami keberatan dengan kebijakan tersebut, karena berarti mereka harus mengeluarkan banyak modal untuk budidaya padi dan penggunaan bahan kimia akan merusak kelestarian ekosistem pertanian mereka.
Namun, mau tidak mau mereka harus mengikuti program tersebut, karena petani-petani tersebut akan diproses secara hukum jika menentang kebijakan nasional di kala itu. Kehadiran kebijakan nasional tersebut menyebabkan kesedihan yang luar biasa bagi para petani Indonesia yang percaya bahwa kedaulatan pangan hanya bisa ditempuh dengan pola budidaya yang alami dan memanfaatkan benih lokal.
Meskipun begitu, ada beberapa petani yang memilih untuk diam-diam melestarikan padi warisan Indonesia ini di pekarangan rumahnya dengan cara menanamnya di dalam ember-ember dan dipelihara dengan baik lho! Padi warisan ini dipelihara oleh mereka hingga orde reformasi. Untung sekali ya Javarian! Kalau tidak, mungkin saja saat ini sudah punah.
Pertemuan Ibu Helianti dengan Petani
Tahun berganti tahun, hingga akhirnya Ibu Helianti sebagai food enthusiast bertemu dengan petani-petani yang masih memelihara padi warisan yang beraneka ragam itu. Ibu Helianti sangat tertarik saat menemukan beras-beras yang memiliki warna-warni yang beraneka ragam.
Saat itu, Ibu Helianti pun diperkenalkan dengan aneka beras yang memiliki ragam warna, tekstur, rasa, aroma dan manfaat kesehatan yang berbeda-beda dan unik dari setiap variannya. Petani-petani tersebut pun berbagi cerita dengan Ibu Helianti tentang bagaimana beras-beras tersebut ada, sempat hilang, dan dilestarikan oleh sebagian petani.
Berangkat dari kekhawatiran mereka bahwa padi warisan ini hilang dan terlupakan, para petani ini memberikan amanat kepada Ibu Helianti, bagaimana bahwa kekayaan ragam padi warisan Indonesia bisa berlanjut hingga generasi-generasi selanjutnya. Pesan mereka:
“Mbah ini sudah tua, dan anak cucu sudah tidak ada lagi yang mau bertani, Mbah khawatir kekayaan padi warisan nusantara ini akan hilang ditelan jaman, padahal ini adalah subsidi Tuhan untuk Indonesia, dan pasti ada alasan kenapa Indonesia dikaruniai ribuan jenis padi. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang tidak bersyukur karena tidak memelihara apa yang diberikan.”
Terharu dengan pesan-pesan tersebut, Ibu Helianti yang terkagum-kagum dengan ragam padi warisan tersebut, bertekad untuk mempopulerkan kembali keberadaannya dengan mempromosikan dan mendistribusikannya ke pasar luas. Ibu Helianti percaya, bahwa selama ada apresiasi konsumen untuk membeli dan menikmati beras-beras tersebut, maka akan ada semangat bagi para petani untuk memelihara keberlangsungan padi warisan nusantara. Mbah Suko menjadi mitra petani pertama Javara pada saat itu.
Akhirnya, Ibu Helianti bekerjasama dengan para petani yang menanam padi warisan ini dalam bidang pembinaan kualitas dan keamanan pangan agar memenuhi standar internasional, pendampingan proses sertifikasi organik, pemasaran dan distribusi.
Pada awalnya, di 2008 beras-beras ini rencananya didistribusikan dengan jumlah yang dapat kita temukan di kemasan beras pada umumnya, yaitu kemasan berukuran 5kg. Namun, dikarenakan padi warisan ini masih langka dan hanya sedikit petani yang saat itu masih memproduksi beras warisan tersebut, kiriman pertama yang diterima Bu Helianti hanya 25kg, itu pun gabungan dari 8 jenis padi, sehingga akhirnya dikemas sebagai cindera budaya dalam kemasan bambu yang berisikan 200gr x 8 jenis beras. Edisi perdana ini juga untuk mengedukasi konsumen, betapa kayanya ragam padi warisan Indonesia.
Singkat cerita, setelah melewati beberapa proses optimalisasi produksi, akhirnya produksi beras-beras tersebut pun dapat ditingkatkan secara kualitas dan kuantitas. Tidak hanya menguntungkan petani, dengan pelestarian padi warisan ini, seluruh Indonesia pun dapat menikmati pangan Indonesia yang hampir terlupakan ini.
Saat ini, padi warisan Javara ini sudah tersedia dalam berbagai bentuk kemasan, mulai dari kemasan paper box 5kg dan 1kg, pouch 900gr, hingga kemasan hadiah dengan kotak anyaman pengrajin-pengrajin Indonesia. Padi warisan dengan kemasan anyaman pengrajin ini seringkali dijadikan hadiah kedutaan ataupun menteri-menteri negara lho! Bahkan sudah diekspor ke Itali sejak 2012.
Ternyata di balik beras warna-warni yang indah di mata ini, tersimpan cerita penuh makna dan perjuangan ya Javarian. Tanpa kita sadari, Indonesia ternyata punya kekayaan pangan yang sangat luar biasa ya! Hanya saja, tanpa ada penerus yang bisa memperkenalkan kekayaan itu, pangan Indonesia yang satu ini hampir saja hilang dari zaman.
Kamu bisa lihat varian-varian Heritage Rice di https://javara.co.id/javarapedia/ ya Javarian!
Untuk kamu yang tertarik untuk mencoba Heritage Rice ini, kamu dapat memesan produk kita di bit.ly/javarastore ya!
Ikuti terus update Javara di Instagram kita ya!
@javaraindonesia